Sabtu, 12 April 2008

Ekonomi Global & Strategi Investasi 2008

Bagi investor internasional, 2007 adalah tahun yang “ekstrem.” Di satu sisi, investasi di pasar saham Asia, Eropa Timur, dan Amerika Latin sangat menguntungkan. Dihitung dalam dolar AS, misalnya, sejak awal 2007 indeks harga saham China (Shanghai) naik lebih dari 130%, Slovenia 90%, dan Brasil 65%. Kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) Indonesia pun lumayan, dengan kenaikan lebih dari 40%.

Pengusaha di Indonesia bahkan merasa dalam tiga tahun terakhir ini keuntungan investasi di bursa saham jauh melampaui keuntungan usaha intinya. Apalagi mereka yang berhadapan dengan ketidakpastian hukum, masalah perburuhan, dan infrastruktur.

Di sisi lain, 2007 adalah tahun yang kelam bagi investor global yang terkena dampak krisis penunggakan kredit kepemilikan rumah (KPR) berisiko subprime mortgage di AS. Krisis berskala internasional ini (karena banyak investor global membeli surat berharga dengan jaminan KPR subprime) berpotensi menimbulkan kerugian lebih dari US$400 miliar (hampir sebesar produk domestik bruto Indonesia per tahun) dan menjerumuskan ekonomi AS (yang menggerakkan sekitar 20% dari ekonomi dunia) ke dalam resesi.

Untuk memperkecil risiko resesi, bank sentral AS (Federal Reserve) menurunkan suku bunga Fed Funds Target Rate (FFTR) dari 5,25% menjadi 4,25%. Namun, investor global menilai penurunan FFTR tidak memadai-bursa saham global sempat anjlok-karena investor menilainya masih terlalu tinggi.

Krisis subprime pun bukan satu-satunya kekhawatiran investor. Mereka juga dihantui oleh prospek kenaikan harga minyak mentah dunia di atas US$100 per barel dan terus merosotnya kurs dolar AS (terutama terhadap euro dan yen), yang dapat terus memicu kenaikan harga komoditas internasional (minyak, batu bara, gas alam, dan emas) dan inflasi global sebagai konsekuensinya.

Di mata investor, keadaan ekonomi global masih bisa terus memburuk sampai akhir semester I/2008.

Tahun Menentukan

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia melambat sedikit dari 5,2% pada 2007 menjadi 4,8% tahun depan. Hal ini karena terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi AS sekitar 1,9% per tahun.

Banyak analis bahkan menilai pertumbuhan ekonomi AS akan jauh di bawah target IMF. Namun, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan tidak bakal terpuruk tajam, karena masih terbantu oleh pertumbuhan ekonomi Asia, terutama China dan India.

IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi China hanya akan melambat sedikit, dari 11,5% pada 2007 menjadi 10% tahun depan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia saya perkirakan naik sedikit dari 6,2% menjadi 6,3% dalam periode yang sama.
Risiko resesi ekonomi AS memang meningkat, tetapi Federal Reserve diperkirakan terus “mengerem” kemerosotan pertumbuhan ekonomi negara itu (apalagi dengan adanya pemilihan presiden pada November 2008) dengan terus memangkas FFTR menjadi 3,75% pada triwulan I/2008, dan mempertahankan FFTR di level ini sampai akhir 2008.

Dipangkasnya FFTR akan memberi peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga BI Rate dari 8% pada akhir tahun ini menjadi 7,5% pada semester I/2008.

Karena pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan menurun, pertumbuhan kebutuhan minyak mentah dunia pun diprediksi turun.

Menurut penelitian (hasil poling 23 lembaga finansial dan penelitian) lembaga survei Consensus Economics, London, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) akan turun dari US$90-US$95 per barel pada akhir 2007 menjadi US$69 per barel pada akhir tahun depan.

Prediksi ini masuk akal, mengingat kebutuhan dan pasok minyak mentah di sektor riil hanya memengaruhi sekitar 70% dari harga minyak internasional, selain selisihnya ditentukan oleh spekulator dan investor di pasar finansial yang membeli (atau menjual) minyak mentah dengan kontrak futures tanpa pengiriman barang.

Jika para spekulator menilai pertumbuhan kebutuhan bahan bakar dunia akan melambat, mereka akan menjual minyak dan komoditas lainnya serta mempercepat turunnya harga minyak pada semester II/2008.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi AS sebetulnya adalah “koreksi ekonomi” yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan ekonomi dunia.

Besarnya defisit ekonomi AS (defisit neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, dan anggaran pemerintah Federal) dan dipangkasnya FFTR (yang membuat dolar AS semakin tidak menarik) telah memperlemah kurs dolar AS, dari 1,3 per euro pada awal 2007 menjadi hampir 1,5 per euro pada akhir tahun.

Namun, dengan prospek melambatnya pertumbuhan ekonomi AS dan krisis subprime mortgage (yang “mengerem” pembengkakan utang masyarakat AS), pertumbuhan impor otomatis akan berkurang, sementara ekspor meningkat (karena dolar AS yang melemah). Defisit ekonomi AS pun diperkirakan mengecil pada 2008.

Keadaan ini akan membantu dolar AS menguat kembali ke arah 1,35 per euro dan 116 per yen Jepang pada semester II/2008. Perkembangan ini awalnya dapat berdampak negatif terhadap kurs rupiah, yang bisa terus melemah ke arah Rp9.500 per dolar AS pada semester I/2008.

Namun, surplus neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia, prospek kenaikan investasi asing, dan prospek kenaikan peringkat risiko Indonesia oleh perusahaan penilai risiko Standard and Poor’s dari BB- ke BB diperkirakan membantu memulihkan kurs rupiah ke arah Rp8.900 per dolar AS pada akhir 2008.

Strategi Investasi

Prospek menurunnya harga komoditas dan suku bunga akan membantu pertumbuhan ekonomi, terutama di Asia dan Eropa Timur. Investor saham dapat terus mengakumulasi saham perusahaan di kedua benua ini, terutama saham perbankan (yang terpukul akibat krisis subprime), infrastruktur dan consumer goods.

Untuk Asia, berdasarkan analisis price-to-earnings ratio, potensi penguatan bursa saham terbesar berada di Taiwan, Korea Selatan, dan Thailand (selama masalah politik tidak memburuk). Di Indonesia, walaupun sudah di tingkat termahal dalam sejarah, pasar saham masih berpotensi menguat, karena masih relatif murah dibandingkan dengan di China dan India.

Khusus di Indonesia, harga saham perusahaan di sektor infrastruktur (semen, jalan tol, dan alat berat, seperti traktor), sektor perbankan (terutama bank pemerintah yang melakukan restrukturisasi untuk efisiensi), dan properti (terutama berhubungan dengan konstruksi rumah di atas tanah-landed property) diperkirakan naik, walaupun belum tentu bisa sepesat tahun ini.

Akselerasi pertumbuhan ekonomi dan turunnya suku bunga di Indonesia juga akan meningkatkan harga tanah dan properti, terutama di kota dan daerah, di mana ada perencanaan pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, pembangkit tenaga listrik, dan pelabuhan.

Pada intinya, 2008 adalah tahun restrukturisasi, terutama bagi ekonomi AS. Restrukturisasi ini memiliki dampak negatif (terutama bagi negara yang ekspornya ke AS besar, seperti negara Latin Amerika), tetapi juga memiliki potensi positif untuk jangka panjang bagi ekonomi global. Dalam tahun yang penuh dengan perubahan inilah, investor harus jeli melihat kesempatan berinvestasi.

Oleh Fauzi Ichsan
Senior Vice President Standard Chartered Bank

Sumber : Harian Business Indonesia

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda